Oleh
:
Muti
Mengawali kalimat ini mungkin perlu di
refleski beberapa hal yang telah lama hampir memudar, Bung Karno (Soekarno)
adalah sosok proklamator, sang ulung yang memiliki kharisma kepemimpinan hingga
berpengaruh pada tingkat dunia, olehnya itu dia dijuluki sebagai bapak
revolusi. Selain daripada itu masih banyak lagi kepemimpinan beberapa ekponen
yang terkenal dengan ksatria dan kharismanya, Bung Hatta (Muhammad Hatta), Bung
Sahrir, Bung Tomo dan lain-lain. Jika mereka itu dibandingkan dengan
tokoh-tokoh pada masa kontemporer ini maka sangatlah jauh berbeda, istilah
untuk kepemimpinan dahulu adalah pengabdian kepada rakyat secara totalitas,
murni dan penuh perjuangan untuk kebahagiaan rakyat. Namun, sekarang kini
perjuangan itu telah berubah, tepatnya bila diistilahkan untuk pemerintah
sekarang ini ialah pemerintah yang destruktif (pembangunan yang mengalami
dekadensi moral dan keberanian), seingat beberapa pidato Soekarno dan para
eksponen bangsa lainnya bahwasannya jangan sampai Bangsa Indonesia ini
mengemis-ngemis terhadap Negara tetangga umumnya dunia semisal Malaysa,
Soekarno pernah mengatakan jikalau Malaysa melakukan kesewenang-wenangan maka
kita harus melawan dan jangan sampai tunduk terhadap mereka. Sebaliknya, dalam
pidato Bung Tomo, sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Indonesia harus bersatu
dari seluruh Nusantara khususnya pemuda-pemuda untuk kemudian melawan tentara
Inggris yang memberikan tantangan-tantangan kepada pemuda. Namun, pemuda tetap
melawan jika tentara Inggris tetap memeberikan tekanan—berupa kelicikan--secara
terus-menerus.
Akan tetapi, perspektif Negarawan itu pada
masa kini sudah bergeser ke arah liberalisme politik, sistem politik
kapitalistik. Sebab, dengan sewajarnya berdasar representasi Indonesia di bawah
pemerintahan saat ini seperti seseorang yang bermohon-mohon belas kasihan
terhadap Negara tetangga—Malaysa, Fhilpina dan Myamar—Baik, aspek politik,
ekonomi dan geostrategis, seakan-akan Indonesia tidak lagi memiliki kemampuan,
kemandirian dalam mengelola Negara secara baik—kemandirian, menurut Ingleson,
1979: 5 kemandirian berarti keharusan untuk membangun struktur Nasional,
politik, sosial, ekonomi, dan hukum alternatif yang berakar kuat dalam
masyarakat pribumi yang sejajar dengan struktur pemerintahan kolonial, menurut
hemat penulis, mungkin pada masa kini lebih pada kapitaistik liberalisme--apakah
Bangsa, Rakyat Indonesia yang sakit ataukah pemerintah saat ini sedang
menjalani pengobatan akibat sakit dengan cara melakukan kompromi atau
perkawinan dengan asing atau corporate
untuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam dan potensi yang ada di
Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai Negara berkembang akibat kita
masih saja mempertahankan mental-mental budak, feodalisme, kapitalisme ataupun
mental komunisme. Berbagai bentuk pengelolaan Negara hanyalah gelongan-gelongan
tertentu, yang memutuskan ataupun mengkonsesuskan segala sesuatu sehingga
melahirkan kesepakatan secara global. Inilah dasar oligarki masa kini di
Indonesia.
Sampai saat ini, belumlah ditemukan
kualitas pemerintahan serta para strukturalnya melaksanakan Negara ini secara
mandiri, semua seperti seekor ular antara ekor dan sebuah kepala ular yang
selalu mengikut-ngikut tanpa ada kebebasan dan ideologi kebangsaan dan
epistemologi kebangsaan secara ideal.
Siapakah yang sakit rakyat ataukah
pemerintah, sejujur-jujurnya Negara ini masih dijalankan oleh kolonial dan
imprealisme namun bermuka Kapitalis, sebaliknya negara juga masih dijalankan oleh
Kapitalisme yang bermuka dua antara Indo-Asia dan Baratisme.
Jika upaya yang dicanangkan oleh
pemerintah kini ialah memfokuskan pada suatu pembangunan maka pembangunan itu
pun akan sakit sebagaimana sakitnya pengendali pemerintahan. Bangsa Indonesia
masih memiliki human cost, jika
pembangunan itu perlu menjadi fokus primordial maka haruslah pembangunan yang
manusiawi berimplikasi secara langsung terhadap bangsa di Indonesia. Bukan,
berbagai paradigma politik dan perdagangan yang justru itupun hanya dianfaatkan
oleh golongan tertentu, sebaliknya menghasilkan secara terus-menerus paradigma
inportir.
Komentar
Posting Komentar