Oleh :
Muti
Desakkan globalisasi pada abad kontemporer menghardik seseorang guna memeroleh legitimasi formalitas baik, pendidikan maupun status sosial. Di sisi lain porpaganda globalisasi menyudutkan subjektifitas perempuan—baik disparitas ataupun secara persamaan—lakon-lakon global memang penuh gambaran kemunafikan dan kekerdilan, kekonyolan. Setiap masyarakat secara perlahan-lahan sudah mulai meninggalkan kebersamaan kelompok bermasyarakat, masing-masing sibuk mengurus urusan individu, lebih-lebih perempuan di hiraukan dalam konteks sosial kemasyarakatan.
Oleh karena itu, jika
globalisasi marajalela di berbagai lini kehidupan, maka yang dapat menghidupkan
cara pandang, mental ialah pendidikan moral yang terintegrasi dengan visi-misi
revolusioner. Bukankah seperti itu, jika demikian, lantas siapakah yang
berperan penuh dan holistik dalam situasi demikian. Otomatis perempuanlah yang
berada dalam posisi baik ‘keramaian’ maupun ‘kesunyian’. Akankah kita telah
mendukung perempuan, dan memberikan ruang bagi mereka untuk memajukan sosial
masyarakat, atau pendidikan orientasi revolusioner. Ataukah perempuan hanyalah
menjadi budak cinta lelaki yang tak pernah dianggap dalam ruang-ruang sosial
tersebut.
Perempuan
Kaum Revolusioner
Sejatinya anggapan yang
terbangun di Masyarakat kekinian, perempuan dan sekolah hanyalah kebutuhan
komplementer yang menunjang mereka sesaat setelah selesai sekolah baik formal
dan informal, setelah itu mereka ‘menikah’ memiliki anak mengurus dan kembali
ke dapur. Kebiadaban mindset dan
paradigma yang tak sebanding ini justru membawa manusia dalam dekadensi sosial
maupun individualistik. Jika melihat pada sebelum-sebelumnya maka dapat kita
saksikan kerapkali revolusi terjadi dibalik itu ada perempuan, misal revolusi
Indonesia dalam memeroleh kemerdekaan. Revolusi Kuba.
Bukan berarti perempuan
tidaklah dapat tampil di depan. Namun, pola dan paradigma perempuanlah jauh
daripada itu telah mereka pikikirkan dan dapat mengambil suatu keputusan ataupun
tindakan. Itulah dasariah pemikiran perempuan yang saat ini, seharusnya dituntut
terimplementasi dalam pendidikan Indonesia guna memberdayakan perempuan sebagai
gerakan social reform.
Sejarah pun telah
mencatat yang menemukan baju adalah perempuan, lelaki hanya tahu pergi, pulang
tanpa perenungan yang universal atau atas kolektifisme. Justru perempuanlah
yang mampu melakukan hal itu semua. Di kisahkan dahulu hidup sepasang perempuan
dan lelaki, pergilah bekerja lelaki tersebut. Pada pagi hingga petang hari,
saat itu sedang terjadi hujan, si perempuan sangat khawatir dan takut dengan
anaknya yang kedinginan. Tanpa lama-kelamaan muncul ide kreatif, dan
revolusioner dari wanita tersebut, walaupun elementer. maka diikatlah akar
pepohonan atau tumbuhan untuk dijadikan sebuah pakaian bagi anaknya. Di situlah
awal munculnya sejarah pakaian yang dibuat oleh sosok perempuan yang konstruktif
dan revolusioner.
Sekolah
Kapitalisme
Wujud pertanyaan bagi
seorang yang duduk dibangku sekolah ialah untuk apa sekolah. Apa selanjutnya
yang akan dilakukan ketika selesai sekolah. Bagi sosok pecundang akan menjawab
kerja, memeroleh uang, menikah dan punya hal materil lainnya. Namun, jika
pertanyaan itu dilontarkan kepada wanita maka yang dijawab adalah memulihkan
dan memajukan masyarakat, rakyat, anak didik menjadi anak yang cerdas dan
berguna bagi bangsa dan negara khususnya sekolah yang dilakoni. Di sini
terdapat jauh corak berpikir antara sosok kapitalistik pecundang dengan sosok
perempuan yang revolsuioner bersahaja. Memang globalisasi telah mengahardik
manusia namun sejatinya walaupun manusia di pojokkan atau disudutkan dalam
kondisi yang dekadensi. Baik pemikiran maupun perilaku, tetap perlindungan dan
kasih perjuangan berada di tangan perempuan.
Perempuan
dan Progresifitas
Sebuah kata
progresifitas menunjukkan arti kata yang bermakna perbuatan yang memajukan dan
membawa kemaslahatan. Bisa juga dapat dimaknai sebagai cara perpikir yang maju.
Bila kata tersebut dilekatkan dengan perempuan artinya secara harfiah perempuan
adalah sosok pemikir yang dapat membawa kemajuan saat menghadapi
situasi-situasi yang menuju degradasi atau destruktif. Progresifitas perempuan
diliputi oleh perjuangan yang memiliki karakteristik yang humanis dan mendasar.
Bukanlah perempuan yang justru terhegemoni bersama para pecundang-pecundang
yang bersifat kapitalistik tersebut.
Revolusi akan dapat
terjadi jika perempuan dan kaum reform baik institut, sekolah, kampus maupun
secara besar Negara harus sama-sama bergerak dengan cara pandang yang humanis
emansipatoris serta progresif melakukan perubahan sosial yang pada gilirannya
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial, ekonomi, politik dan pendidikan.
Komentar
Posting Komentar