Oleh
:
Muti
Siapakah yang dapat menjustifikasi suatu
benturan antara kebudayaan-kebudayaan sebagai konstelasi maupun ajang
berkemajuan. Apakah asumtif tersebut benar adanya ataukah menjadi argumentatif
kebudayaan yang bersifat temporal. Seperti diketahui landasan paradigma politik kontemporer sebagai berkemajuan dibagi
dalam dua hal, baik lokal maupun global sehingga berpengaruh dalam pandangan
dunia politik. Semisal politik daerah yang diibaratkan sebagai politik etnisitas
dan politik global sebagai politik antar peradaban.
Jika argumentatif ini direlevansikan
dengan kondisi di Maluku Utara maka akan memunculkan pertanyaan besar dan
bersifat kolektif. Apakah tendensi memang benar adanya, jikalau ada maka apakah
berpengaruh terhadap dinamika politik yang seharusnya—berkemajuan sebagai
harapan daerah terkait—berkemajuan. Atau justru sebaliknya pandangan dunia atas
poitik itu bersifat destruktif dan bermental ‘primitif’. Kata primitif ini
dapat diekuivalenkan dengan alifuru, alifuru adalah orang-orang yang
berpenghuni di Maluku pada masa dahulu kala dapat dikatakan pada zaman-zaman
primitif, yang berkehidupan memetingkan kelompok semata—sukuisme,
etnisisme—sehingga apapun dapat dilakukanya misal membunuh dan mempertahankan wilayah
kekuasaannya. Demi kelangsungan hidup kelompok tersebut. Kehidupan-kehidupan
seperti itu berlangsung sampai pada masa-masa di mana negeri Maluku atau Maluku
Utara megalami perkembangan peradaban yang signifikan. Akan tetapi signifikasi
tersebut, apakah eksisitensi masyarakat Maluku Utara masih sama halnya seperti
sedia kala ataukan telah berada dalam kristaslisasi pemikiran yang berprogresif
terhadap watak pembaharuan humanistik.
Sejak Maluku Utara terbentuk pada pada
tanggal 4 Oktober 1999, melalui UU RI Nomor 46 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 6
Tahun 2003. Sebelum resmi menjadi sebuah provinsi, Maluku Utara merupakan
bagian dari Provinsi Maluku, di mana Provinsi Maluku pada saat itu membawahi Kabupaten Maluku Utara dan kabupaten Halmahera Tengah. Jika kita
menelaah eksistensi Maluku Utara selama ini peroses keberadaannya maka Maluku Utara mengalami berbagai dinamika
serta pasang surut yang berkepanjangan. Acuan analisis dinamika yang
berkepanjangan salah satunya ialah problems
politik. Yang lainnya pun mengalami hal serupa namun pemerintah dapat
menyelesaikan secara perlahan-lahan di antaranya ekonomi, sosial dan pembangunan.
Tendensi Maluku Utara sebagai provinsi
yang memiliki banyak persoalan politik ialah masalah etnisitas bukanah Agama,
jika representasi politik yang berimplikasi atas Agama maka itu hanyalah
propaganda elite lokal yang mencoba memporak-porandakan politik yang di atur
sedemikian rupa berdasar kepentingan masing-masing. Masyarakat pada umumnya
belumlah merasakan suatu kemaslahatan maupun ketentraman dalam berkehidupan di
negeri Maluku Utara, atau negeri yang selalu disimbolkan sebagai Negeri Jazirah
Al-Mulk. Masyarakat terlibat itu pun dalam masa momen-momen perpolitikkan—jika
warga merayakan pesta demokrasi—setelah masa-masa itu selesai maka masyarakat
dihiraukan oleh para elite politik dan elite-elite politik memilih merayakan
apa yang telah mereka lakukan bersama tim-tim terselubung mereka. Baik proses
merayakan itu dengan memberikan ruang-ruang atau istilah simplisit ialah
‘’kursi-kursi’ demokrasi.
Ekonomi pembangunan Maluku Utara sejauh
ini hanyalah dilihat berdasarkan paradigma yang bersifat untung-untungan di
mana selalu dilakukan penarikan anggaran oleh swasta-swasta maupun kepemilikan
usahan oleh pemerintah atas stakeholder.
Atau sebaliknya cara memandang ekonomi pembangunan Maluku Utara oleh pemerintah
ialah pembangunan infrastruktur yang hanya berfokus pada desentralistik lokal
yang berpotensi memerikan nilai tambah bagi daerah tersebut atau Provinsi.
Namun, yang menjadi pertanyaan mengapa daerah-daerah yang terkecil maupun yang
berada jauh dari pusat ibu kota Provinsi tidaklah menjadi perhatian serius oleh
Pemerintah Provinsi. Sebagai lakon atau pusat penunjang berkemajuan dan
pemerataan secara ekstensif. Lanjut bagian 2
Komentar
Posting Komentar